ANALISIS POTENSI METABOLIT SEKUNDER
DARI
BAKTERI YANG
DIISOLASI DARI TANAH PERTANIAN KUBIS SEBAGAI
BIOPESTISIDA
HAMA ULAT KROP KUBIS (Crocidolomia binotalis)
BIDANG KEGIATAN: PKM PENELITIAN (DIDANAI)
Diusulkan oleh:
I Dewa
Gede Agus
Sudarma
(1113031011) Angkatan 2011
I Putu Pandu Setiawan (1313031028) Angkatan 2013
Abstrak
Tujuan dari Program
Kreativitas
Mahasiswa ini adalah
untuk mengeksplorasi
bakteri dari tanah pertanian kubis sebagai penghasil metabolit sekunder
serta
menganalisis
potensi biopestisidanya untuk menanggulangi hama
ulat krop kubis. Target luaran yang
diharapkan dari Program Kreativitas Mahasiswa yang
dilaksanakan ini adalah mampu
mengembangkan Biopestisida
dari bakteri dapat dijadikan
sebagai alternatif
bagi petani
dalam memilih pestisida yang lebih ramah
lingkungan.
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang
bertujuan untuk mengkaji
potensi metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh spesies bakteri hasil isolasi dari tanah
pertanian kubis di daerah Pancasari
sebagai biopestisida hama
ulat krop
kubis (Crocidolomia binotalis). Metabolit sekunder diproduksi menggunakan
proses
fermentasi secara SSF dengan variasi massa solid support, kelembaban media fermentasi, dan waktu
inkubasi. Untuk menganalisis kandungan protein dari
metabolit sekunder ini digunakan metode
Lowry. Potensi metabolit sekunder ini diuji berdasarkan kemampuannya dalam menghambat nafsu makan (antifeedant)
dan
membunuh (mortalitas) hama ulat krop kubis
(Crocidolomia
binotalis).
BAB I PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan
pokok manusia. Salah satu kebutuhan
pangan yang diperlukan
masyarakat adalah
sayur
mayur. Kubis (Brassica oleracea) merupakan sayuran yang sangat populer di Indonesia dan biasa disebut dengan kol. Tanaman ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Kubis segar mengandung air,
protein, lemak, karbohidrat, serat,
kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, vitamin (A, C, E,
tiamin, riboflavin, nicotinamide)
dan
beta karoten. Selain itu, kubis juga mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan, dan iberin yang
merangsang
pembentukan
glutation, suatu enzim yang bekerja
dengan cara menguraikan dan membuang
zat-zat beracun yang
beredar dalam tubuh
(Dalimarta, 2001). Kubis sangat rentan
terhadap serangan hama
dan
penyakit. Hama
lepidoptera yang
mengganggu pertumbuhan kubis adalah ulat Plutella xylostella, ulat krop
(Crocidolomia binotalis), ulat grayak (Spidoptera litura), dan ulat tanah (Agrotis ipsilon)
(Yuan,
2012).
Upaya yang telah dilakukan oleh petani untuk mencegah serangan hama maupun
penyakit adalah menggunakan pestisida. Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman,
pestisida adalah zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang
digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman.
Pestisida yang sering digunakan
adalah
pestisida
sintetis. Pestisida sintetis
tergolong praktis karena cara menggunakannya
mudah, efeknya cepat diamati, dan mudah diperoleh
dalam dunia perdagangan.
Hingga saat ini,
ketergantungan
petani
terhadap pestisida
sintetis masih sangat
tinggi.
Dampak negatif
yang disebabkan
penggunaan pestisida sintetis antara lain
adalah keracunan, pencemaran lingkungan, matinya organisme yang
menguntungkan misalnya
musuh alami dari organisme
pengganggu tanaman
(OPT), terjadinya serangan hama sekunder,
munculnya resistensi serangga
hama, dan terjadinya
resurgensi serangga hama (Novizan, 2005). Dan juga dampak yang
sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan pada hepar. Oleh karena itu, diperlukan
pestisida yang lebih
ramah lingkungan dan aman
bagi manusia.
Biopestisida diperkenalkan sebagai alternatif dalam menangani hama yang lebih
ekologis, murah, serta tidak memiliki
dampak negatif seperti
pestisida sintetis.
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi pestisida nabati dan pestisida
hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi dari bagian tanaman yang memiliki
senyawa
hasil
metabolit
sekunder
yang bersifat
racun
terhadap
hama
atau patogen
penyebab penyakit. Pestisida hayati adalah formulasi yang mengandung mikroba tertentu(jamur, bakteri, virus, protozoa, nematoda) yang bersifat antagonis atau antibiosis terhadap patogen
penyebab
penyakit ataupun
bersifat racun terhadap hama (Djunaedy, 2009).
Kebutuhan yang
tinggi akan biopestisida nabati dapat menimbulkan permasalahan baru.
Produksi biopestisida nabati secara massal memerlukan lahan dan sumber daya alam yang
banyak. Selain itu, bahan tumbuhan yang
telah diekstrak dengan pelarut harus segera
digunakan karena enzim pengurai dan mikroorganisme tertentu, yang dapat mendegradasi bahan aktif juga ikut
terekstrak (Prijono
(2003). Oleh karena itu, penggunaan pestisida nabati dapat digantikan dengan menggunakan pestisida biologi, yaitu produk pestisida
yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dimanfaatkan untuk memproduksi
biopestisida diantaranya bakteri,
virus dan jamur (Schlegel, 1986).
Bakteri dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder yang
memiliki fungsi
sebagai
biopestisida. Bakteri penghasil metabolit sekunder yang berpotensi
sebagai
biopestisida dapat ditemukan di tanah pertanian, serangga mati, daun kering dan feses
binatang (Cetinkaya, 2002). Menurut Blibech et al., (2012) bakteri yang bersifat pathogen bagi hama
Lepidoptera dan Coleoptera adalah Bacillus licheniformis, Paenibacillus
polymyxa, and Bacillus brevis.
Selain
itu,
Bacillus thuringiensis aktif mematikan sebagian besar serangga yang termasuk dalam kelas Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera (Jaquet
et
al., 1986).
Penelitian
Yasin (2004) yang
mengkaji toksisitas suspensi Bacillus thuringiensis (Bt) terhadap hama ulat kubis Plutella xylostella, menemukan bahwa pemberian suspensi Bt dapat meningkatkan angka kematian (mortalitas)
ulat kubis. Hal ini disebabkan oleh metabolit sekunder yang disebut protein kristal atau δ-endotoksin yang
dihasilkan Bacillus
thuringiensis merusak
sistem percernaan dan
mengganggu keseimbangan
osmosis sel
tubuh serangga. Fermentasi perlu dilakukan untuk memproduksi metabolit sekunder yang
bersifat toksik bagi hama. Proses fermentasi yang umum dilakukan pada bakteri adalah
dengan metode SSF (Solid State Fermentation) dan SmF (Submerged Fermentation).
Metode SmF melibatkan air sebagai fase kontinyu dari sistem pertumbuhan sel
bersangkutan atau
substrat, baik sumber karbon
maupun mineral terlarut atau tersuspensi sebagai
partikel-partikel dalam
fase cair. Sedangkan
Metode SSF merupakan
metode untuk memproduksi
metabolit sekunder yang
berlangsung
pada media lembab dan memerlukan
media support.
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis ini mengeksplorasi bakteri dari
tanah pertanian kubis sebagai penghasil metabolit sekunder serta menganalisis potensi biopestisidanya untuk
menanggulangi hama ulat
krop kubis.
Target luaran yang
diharapkan dari Program Kreativitas Mahasiswa yang dilaksanakan ini adalah mampu mengembangkan Biopestisida
dari bakteri dapat dijadikan
sebagai alternatif
bagi petani
dalam memilih pestisida yang lebih ramah
lingkungan.
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Tanaman Kubis
Kubis (Brassica oleracea) adalah nama sayuran yang sangat popular
di Indonesia dan biasa
disebut “kol”. Kubis biasanya dipakai sebagai lalapan atau campuran sayur- sayuran. Kubis berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat. Nama „kubis‟ diambil
dari bahasa inggris
„cabbage’ yang juga merupakan pinjaman dari
bahasa
Normandia
„caboche’. Nama „kol‟ diambil dari bahasa Belanda “kool”. Berikut ini adalah klasifikasi
dari tanaman
kubis.
Gambar 2.1 Tanaman
Kubis
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan
berpembuluh) Super
Divisi : Spermatophyta
(Menghasilkan
biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida
(berkeping dua /
dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili
:
Brassicaceae (suku
sawi-sawian) Genus : Brassica
Spesies : Brassica
oleracea
2.2. Hama Ulat
Krop Kubis
Serangga hama ini dikenal dengan ulat krop kubis atau large cabbage heart caterpillar, termasuk ordo Lepidoptera, famili Pyralidae dan mempunyai daerah
penyebaran di Indonesia (Kalshoven, 1981). Ulat krop/jantung kubis (Crocidolomia binotalis) sering
menyerang titik tumbuh sehingga disebut sebagai ulat jantung kubis. Ulatnya kecil berwarna hijau lebih besar dari ulat tritip (Pluttela xylostella),
jika sudah besar garis-garis coklat.
Jika diganggu agak malas untuk bergerak. Berbeda dengan ulat tritip yang
telurnya diletakkan secara menyebar, ulat jantung
kubis meletakkan telurnya dalam satu kelompok (Lubis, 2004). Berikut ini adalah
klasifikasi
ulat krop kubis (Crocidolomia
binotalis) menurut Kalshoven (1981).
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Pyralidae
Genus : Crocidolomia
Spesies : Crocidolomia
binotalis
Gambar 2.2 Ulat Krop
Kubis
2.3 Bakteri
sebagai Biopestisida Alami
Bakteri berpotensi sebagai biopestisida karena dapat menghasilkan senyawa
metabolit sekunder yang
bersifat toksik terhadap larva serangga. Metabolit sekunder
merupakan senyawa antara yang disintesis sel setelah fase pertumbuhan atau iodofase.
Metabolit sekunder pada masing-masing
bakteri memiliki karakteristik dan hama sasaran
yang berbeda-beda.
Berikut ini merupakan
jenis bakteri
dan metabolit sekunder yang
diproduksi.
Tabel 2.1 Jenis Bakteri dan Metabolit Sekunder yang Dihasilkan
No.
|
Bakteri
|
Metabolit
Sekunder
|
1
|
Bacillus brevis
|
Gramicidin
|
2
|
Bacillus polymyxa
|
Polymyxin B
|
3
|
Bacillus popilliae
|
Endotoxin
|
4
|
Bacillus subtilis
|
Bacitracin
|
5
|
Bacillus thuringiensis
|
Endotoxin
|
Spesies
Bacillus dikenal sebagai pembasmi
hama pada tanaman karena
kemampuannya untuk
memproduksi metabolit sekunder. Bakteri
bacillus mudah ditemukan di tanah dan dapat berkembang dengan baik pada media cair, dapat memproduksi spora, dan potensinya sebagai pembasmi hama tanaman tergolong
tinggi
(Hamdache et al., 2011).
Sebagian besar dari metabolit sekunder dari bakteri bacillus memiliki ikatan polipeptida seperti gramicidin dan tirocidin yang
dihasilkan oleh Bacillus
brevis (Jamil et al., 2007). Bakteri yang sangat sukses digunakan sebagai biopestisida
untuk melawan hama ulat dari serangga Diptera dan Lepidoptera adalah bakteri Bacillus thuringiensis khususnya strain
B.t. israelensis dan B.t.
kurstaki (Obeidat, 2008).
2.5 Fermentasi
dan
Produksi Metabolit Sekunder
Fermentasi perlu dilakukan untuk memproduksi metabolit sekunder yang
bersifat toksik bagi hama. Proses fermentasi yang umum dilakukan pada bakteri adalah dengan
metode SSF (Solid State Fermentation) dan SmF (Submerged Fermentation). Perbedaan
dasar dari dua metode ini adalah media fermentasi yang
digunakan dan kandungan air
dalam media fermentasi tersebut.
2.5.1 Metode Submerged Fermentation (SmF)
SmF merupakan proses fermentasi yang
melibatkan air sebagai fase kontinyu dari sistem pertumbuhan sel bersangkutan atau
substrat, baik sumber karbon maupun mineral
terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-partikel
dalam fase cair. Proses SmF melibatkan
penumbuhan
mikroorganisme (bakteri dan jamur) dalam wadah tertutup yang
mengandung
kaldu kaya nutrisi (medium fermentasi) dan oksigen dengan konsentrasi tinggi. Media
cair
yang digunakan harus memiliki nutrisi yang
dibutuhkan oleh bakteri. Pemilihan nutrien ini
dilihat dari tiga faktor yaitu ketersediaan bahan, biaya, dan seberapa
baik mikroorganisme dapat memanfaatkan
nutrisi tersebut. Fermentasi bakteri memerlukan nutrisi berupa sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral-mineral. Karbon merupakan bahan utama untuk mensintesis senyawa metabolit sekunder
pada sel (Dulmage et
al., 1990).
2.5.2 Metode
Solid State Fermentation (SSF)
SSF merupakan metode untuk memproduksi
metabolit sekunder yang
berlangsung pada media lembab dan memerlukan media solid support. Metode
SSF
digunakan untuk
memproduksi enzim,
pigmen, flavor, antibiotik, bioinsektisida dan bioherbisida, serta pengkayaan protein pada limbah pertanian (Mitchell et al., 2006). Kandungan air untuk
kulturisasi mikroorganisme secara SSF berkisar 40–80% (Gervais et al.,
1996).
Kelembaban media fermentasi dapat dihitung dengan rumus
berikut.
Kelembaban (%) = berat basah - berat kering x 100%
berat kering
(Vastrad,
2012)
Proses SSF umumnya menggunakan bahan baku alam sebagai sumber karbon dan energi. Ciri utama sistem
SSF
yaitu menggunakan fungi, beberapa jenis bakteri, dan ragi sebagai
biokatalis, dapat menggunakan kultur murni
atau inokulum tradisional, umumnya bersifat aerob, substrat yang digunakan adalah produk pertanian, limbah pertanian, dan limbah
pengolahan makanan. Beberapa solid support yang banyak digunakan adalah dedak
gandum, dedak beras, bubur kayu, bit gula, gandum, dan tepung jagung (Cristobal et al.,
2008). Keunggulan metode SSF adalah menghasilkan jumlah produk lebih banyak, harga produksi yang lebih murah dibandingkan dengan metode SmF (Kuberan et al., 2010).
2.6 Identifikasi
Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder merupakan senyawa antara yang disintesis sel setelah fase pertumbuhan atau iodofase. Sebagian besar dari metabolit sekunder
dari bakteri Bacillus memiliki ikatan polipeptida seperti gramicidin dan tirocidin yang
dihasilkan oleh Bacillus
brevis (Jamil et al., 2007). Ikatan polipeptida ini menandakan kandungan protein dari
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri. Untuk menganalisis kandungan protein dari
metabolit sekunder ini
digunakan
metode Lowry.
Metode Lowry merupakan metode
yang telah umum digunakan dalam analisis protein. Prinsip dasar metode Lowry
adalah pembentukan kompleks antara ikatan peptida pada protein dengan ion Cu2+ dalam kondisi
basa. Ion Cu2+ kemudian direduksi menjadi
ion Cu+. Ion Cu+ ini dan grup-grup radikal dari beberapa asam amino seperti tirosin,
triptofan, asparagin, histidin, dan
sistein akan bereaksi
dengan pereaksi Folin-Ciocalteu
menghasilkan senyawa molibdat/tungstat yang berwarna ungu. Metode ini memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi yakni
mampu mengidentifikasi protein hingga konsentrasi
0,02 mg/mL (Alexander dan
Griffiths, 1992).
Pengukuran secara kuantitatif
dilakukan dengan
menggunakan kurva
standar dengan menggunakan
larutan BSA (Bovine Serum Albumin)
sebagai
larutan standar. Kurva
kalibrasi standar harus mengikuti hukum Lambert-Beer dimana absorbansi berbanding
lurus dengan konsentrasi
larutan standar.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang bertujuan untuk mengkaji potensi metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies bakteri hasil isolasi dari tanah
pertanian kubis di daerah Pancasari
sebagai biopestisida hama
ulat krop
kubis (Crocidolomia binotalis). Metabolit sekunder
diproduksi menggunakan
proses
fermentasi secara SSF dengan variasi massa solid support, kelembaban media fermentasi, dan waktu
inkubasi. Potensi metabolit sekunder
ini diuji berdasarkan kemampuannya dalam menghambat nafsu makan (antifeedant)
dan
membunuh (mortalitas) hama ulat krop kubis
(Crocidolomia
binotalis).
3.2.Lokasi Penelitian
Penelitian
ini
dilakukan di Laboratorium Kimia
Analitik
Jurusan
Pendidikan
Kimia, Fakultas MIPA
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
3.3.Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam
penelitian ini adalah tanah perkebunan
kubis, kondisi media, dan
konsentrasi metabolit sekunder sedangkan objek
penelitian adalah
spesies bakteri, jumlah metabolit sekunder yang dihasilkan dan kematian dan penghambatan makan ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis).
3.4.Tahap – tahap
penelitian
3.4.1. Penyedian Alat dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tabung
ulir
20 mL, spatula, neraca analitik mettle toledo, gelas
kimia (100 mL, 500 mL, dan 1000 mL), pemanas listrik
(heater), labu Erlenmeyer 250 mL, corong, batang statif,
klem, autoklaf, cawan petri, pipet
tetes, kawat ose, inkubator, Spektronik 20+ Milton Roy Company, pipet volumetri 5 mL,
labu
ukur (50 mL, 100 mL, dan 250 mL), botol
kaca, Sentrifuge rotorfix
32, dan toples plastic. Bahan yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah media Nutrien Agar (pepton,
beef extract, dan bacteriological agar),
larutan NaCl 0,85%, alkohol 70%, kertas saring,
aluminium
foil, plastik, jerami, reagen Biuret, larutan
BSA
(Bovine Serum
Albumin), reagen Folin-Ciocalteu dan
larutan garam
(KH2PO4, 4 g/L; (NH4)2SO4, 10 g/L; CaCl2, 0,5 g/L;
dan MgSO4,0,5 g/L).
3.4.2. Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang
dilakukan untuk mengumpulkan data dapat dilihat sebagai
berikut.
3.4.2.1. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Sebanyak 0,5 g
sampel tanah dari pertanian kubis diambil
sampai kedalaman ± 10
cm
dari permukaan tanah. Sampel kemudian ditempatkan ke dalam tabung ulir yang
berisi larutan garam fisiologis (NaCl 0,96%) kemudian dikocok sehingga
terbentuk suspensi. - Suspensi bakteri
ini diambil dan ditumbuhkan pada media Nutrient
agar (NA).
Pembuatan NA dilakukan sesuai dengan metode yang direkomendasikan oleh
Dulmage (1990). Dalam
satu liter
NA
mengandung
3 gram pepton,
20
gram bacteriological agar, 5 gram beef
extract,
dan
aquades.
NA disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada temperatur 1210C selama 15 menit. NA yang
sudah steril dituangkan ke dalam cawan petri dan didinginkan. Cawan petri diinkubasi dalam selama 2 hari.
Koloni-koloni
yang tumbuh kemudian
dipisahkan
berdasarkan
pada bentuk dan
warna koloni. Koloni sejenis ditumbuhkan kembali dalam media NA. Identifikasi koloni yang
tumbuh sampai
tingkat spesies
dilakukan
di
Laboratorium
Mikrobiologi RSUP
Sanglah Denpasar-Bali. Bakteri hasil isolasi diidentifikasi dengan beberapa tahap, yaitu tes media
agar menggunakan Mac
Concey Agar dan
Blood Agar, pewarnaan
gram,
tes
manitol, dan tes suhu.
3.4.2.2. Pembuatan Kurva
Pertumbuhan Bakteri
Kurva pertumbuhan dibuat untuk menentukan
waktu tumbuh optimal dari bakteri.
Sebanyak 2 mL suspensi bakteri hasil isolasi yang ditumbuhkan dalam media cair diinokulasikan ke dalam 100 mL
media nutrisi. Pengukuran absorbansi dilakukan pada interval
1 jam
menggunakan
spektronik 20+ pada panjang gelombang 600 nm.
3.4.2.3. Produksi Metabolit
Sekunder dengan Metode SSF
Produksi senyawa metabolit
sekunder
dilakukan dengan
metode
Solid
State
Fermentation (SSF). Untuk mendapatkan hasil yang optimum, dilakukan variasi massa
jerami, kelembaban media fermentasi,
dan waktu inkubasi. Massa jerami yang
dipakai adalah 5 gram; 7,5 gram; 10
gram; 12,5 gram; dan 15 gram. Kelembaban
media
fermentasi yang
digunakan adalah 60%, 65%, 70%, 75%, dan 80%. Waktu inkubasi yang
digunakan adalah 1 hari,
2 hari, 3 hari, 4 hari, dan 5 hari.
Ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL
dimasukkan 5 – 15 gram inert support (jerami),
5 mL larutan garam (KH2PO4, 4 g/L; (NH4)2SO4, 10 g/L; CaCl2, 0,5 g/L; dan MgSO4,0,5 g/L), kemudian ditambahkan aquades untuk mendapatkan kelembaban 60 – 80 %
. Kelembaban media
fermentasi
dihitung metode yang dilakukan oleh Vastrad
(2012).
Kelembaban (%) = berat basah - berat kering x 100%
berat kering
Media
fermentasi selanjutnya disterilisasi pada suhu 1210C dalam autoklaf selama
15 menit kemudian didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 5 mL
bakteri dimasukkan ke
dalam media fermentasi dan diinkubasi selama 1-5
hari pada suhu kamar.
Setelah fermentasi,
250 mL aquades ditambahkan ke dalam media fermentasi kemudian
diaduk dan disentrifugasi pada 2000 rpm selama
30 menit. Filtrat yang diperoleh diuji secara
kuantitatif menggunakan metode Lowry yang menggunakan larutan BSA (Bovine Serum Albumin) sebagai larutan standar. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan
menggunakan instrumen spektronik 20+ pada panjang gelombang 775
nm.
Berdasarkan uji kuantitatif metabolit sekunder
ini,
akan diperoleh komposisi massa jerami, kelembaban media dan waktu inkubasi yang menghasilkan metabolit sekunder yang optimal.
3.4.2.4. Uji Tingkat Kematian
(Mortalitas) Ulat Krop Kubis
(Crocidolomia binotalis)
Uji mortalitas ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis)
dilakukan dengan
memberikan kubis yang sudah direndam dalam metabolit sekunder
dan
kontrol (aquades). Metabolit sekunder yang digunakan divariasikan
persentasenya (v/v)
dengan
menambahkan sejumlah aquades. Persentase yang digunakan adalah 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Sebanyak 10 gram kubis yang
sudah direndam dalam metabolit sekunder di masukkan ke dalam toples yang sudah
berisi 5 ekor
larva instar III Crocidolomia binotalis.
Pengamatan dilakukan selama 3 hari dengan mencatat jumlah kematian yang
terjadi setiap
harinya. Perlakuan dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Tingkat mortalitas ulat
Crocidolomia binotalis dapat dihitung dengan mempergunakan rumus
sebagai
berikut.
M = A x100% B
(Pattahudin, 2005)
Keterangan: M
merupakan
tingkat mortalitas
(kematian)
ulat kubis
Crocidolomia
binotalis, A adalah
jumlah
ulat mati, dan B adalah jumlah awal ulat yang diuji.
3.4.2.5. Uji Aktivitas
Penghambat Makan
Ulat Krop Kubis
(Crocidolomia
binotalis)
Uji antifeedant dilakukan dengan menghitung
jumlah pengurangan massa kubis
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Dalam toples pertama
dimasukkan 10 g
kubis kemudian toples ditutup dengan kain kasa sebagai kontrol penyusutan air dalam
kubis. Dalam toples
kedua (kelompok kontrol) dimasukkan 10 g
kubis dan 5 ekor ulat
krop kubis (Crocidolomia binotalis) kemudian
ditutup
dengan kasa.
Dalam toples ketiga
(kelompok perlakuan) dimasukkan 10 g
kubis yang sudah direndam dalam metabolit sekunder pada kadar yang
berbeda (20, 40, 60, 80 dan 100%) dan 5 ekor ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis) kemudian ditutup dengan kain kasa. Perlakuan dilakukan selama
3 hari.
Persentase
antifeedant dihitung dengan
menggunakan
rumus:
% A = C - T x100% C + T
(Enturk et al.,
2004)
Keterangan: C adalah massa kubis
yang dimakan oleh kelompok kontrol, dan T adalah massa
kubis yang dimakan oleh kelompok perlakuan.
3.5 Analisis Data
Data dalam penelitian ini akan diperoleh dari kegiatan isolasi dan identifikasi bakteri hasil isolasi, pembuatan kurva
pertumbuhan bakteri isolasi, fermentasi dengan
metode SSF, uji antifeedant, dan uji tingkat kematian (mortalitas). Data yang
diperoleh akan dianalisis secara deskriptif.
BAB IV BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
4.1. Biaya Kegiatan
No
|
Jenis Pengeluaran
|
Biaya (Rp)
|
1
|
Peralatan penunjang
|
3.605.000
|
2
|
Bahan habis
pakai
|
1.982.000
|
3
|
Perjalanan
|
3.120.000
|
4
|
Lain-lain
|
1.420.000
|
Jumlah
|
10.217.000
|
4.2.Jadwal Kegiatan
No
|
KEGIATAN
|
Bulan
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Pengajuan Usulan PKM
|
|||||
2
|
Pengumuman
diterima Dikti
|
|||||
3
|
Bimbingan dengan
dosen
|
|||||
4
|
Penyiapan alat
dan bahan
|
5
|
Pengambilan
sampel
|
|||||
6
|
Pelaksanaan laboratorium, dan pengambilan
data
|
|||||
7
|
Analisis data
|
|||||
8
|
Pembuatan Laporan Akhir,
Seminar, Revisi,
dan
Penggandaan Laporan,
Pengiriman
Laporan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Alexander R.R. dan Griffiths, J.M.
1992. “Basic Biochemical Methods ed ke-2”. Wiley-
Liss,
New York.
Blibech, Imen., Mohieddine Ksantini, Ikbal Chaieb, Brahim Jlassi, Ali
Rhouma, Samir Jaoua, dan Sami Aifa.
2011. “Isolation of Entomopathogenic Bacillus from a Biodynamic Olive Farm and Their Pathogenicity to Lepidopteran and Coleopteran
Insect Pests”. Crop Protection 31 (2012) 72-77. Elsevier Ltd.
Centikaya, Fatos Tuba. 2002. “Isolation of Bacillus Thuringiensis and Investigation of Its
Crystal Protein Genes”. Desertasi. Turkey : Intitute of Technology Izmir.
Djunaedy, A. 2009. “Biopestisida sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) yang Ramah Lingkungan”. Jurnal Embryo, vol.6
no.1:88-95.
Dulmage, T., A.A. Yousten, S. Singer, dan L.A. Lacey. 1990. “Guidelines for Production
Gervais, P.,
P.A. Marechal, dan
P. Molin. 1996. “Water Relation
of
Solid
State
Fermentation”. Journal
of Scientific and
Industrial Research.
55: 343-357.
Hamdache, Ahlem, Ahmed Lamarti, Jose Fina Aleu, Isidro Coldado. 2011. “Non-peptide
Metabolites from Genus Bacillus”. Journal of Natural Product. Vol 74, hal. 893-
896.
Jamil, Bushra, Frank Hasan,
A. Hameed,
Safia
Ahmed. 2007. “Isolation of Bacillus
subtilis MH-4 from Soil and Its Potential of Polipeptide Antibiotic
Production”. Journal of Pharm Science. Vol. 20, hal. 26-31.
Jaquet, Francoise, R. Hutter, P. Luthy. 1986. “Specificity of Bacillus thuringiensis
Delta-
Endotoxin”. Applied and
Environmental
Microbiology. Mar. 1987.
p. 500-504. Vol. 53, No. 3.
Kuberan, T., S.
Sangaralingam dan V. Thirumalai
Arasu. 2010.
“Isolation dan
Optimization of Protease Producing Bacteria from Halophilic Soil”. Journal of
Biosciences Research,
Vol. 1 No. 3: 163-174.
Lubis, Lahmuddin. 2004. “Pengendalian Hama Terpadu pada
Tanaman Kubis (Brassica oleracca)
dan
Kentang (Solanum tuberosum)”. USU
Digital Library.