Pages

Jumat, 11 Desember 2015

SINTESIS TERTIER BUTIL KLORIDA MELALUI REAKSI SUBSTITUSI NUKLEOFILIK

SINTESIS TERTIER BUTIL KLORIDA MELALUI REAKSI SUBSTITUSI NUKLEOFILIK

I Putu Pandu Setiawan
Jurusan Pendidikan Kimia
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: pandupendog45@gmail.com

Abstrak
Percobaan ini bertujuan untuk melakukan reaksi substitusi nukleofilik unimolekular (SN1) dan mengidentifikasi hasil reaksinya dengan menggunakan tersier butil alkohol sebagai substrat dan HCl pekat sebagai pelarut sekaligus sebagai nukleofil/reagennya. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah analisis kuantitatif. Hasil dari percobaan ini adalah 0,84 mL larutan tersier butil klorida dengan persentase rendemennya sebesar 14,41% dan persentase kesalahan sebesar 85,59 %  serta titik didih t-butil klorida yang diamati sebesar 490C sesuai titik didih dengan teori yaitu sebesar 49-520C . Hal ini menunjukkan bahwa produk memang benar t-butil klorida.
Kata kunci: substitusi nukleofilik, tertier butil alkohol, tertier butil klorida

Abstract
This experiment aims to do unimolekular nucleophilic substitution reactions (SN1) and identifies the results of the reaction using tertiary butyl alcohol as a substrate and concentrated HCl as solvent as well as the nucleophile / reagennya. The method used in this experiment is a quantitative analysis. Results of this experiment was 0.84 mL of tertiary butyl chloride with the yield percentage of 14.41% and the percentage error of 85.59% and a boiling point of t-butyl chloride was observed at 490C in accordance with the theory that the boiling point of 49-520C , This indicates that the product is indeed true t-butyl chloride.
Keywords: nucleophilic substitution, tertiary butyl alcohol, tertiary butyl chloride



PENDAHULUAN
Reaksi substitusi adalah reaksi pertukaran atau penggantian gugus atom yang terdapat pasa senyawa karbon yang diganti atau ditukar dengan gugus atom lain. Reaksi substitusi nukleofilik terdiri dari 3 jenis reaksi yaitu reaksi substitusi nukleofilik unimolekular (SN1), reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2), dan reaksi substitusi nukleofilik internal (SNi) (Putu Rahmadewa, 2013). Reaksi substitusi dapat terjadi pada substrat karbon yang bermuatan positif (ion karbonium) dengan spesi yang menyenangi muatan positif atau spesi yang kelebihan elektron/muatan negatif (nukleofil), sehingga disebut reaksi substitusi nukleofilik (SN). Selain itu, reaksi substitusi dapat pula terjadi pada substrat karbon yang bermuatan negatif (sumber elektron) dengan spesi yang menyenangi muatan negatif atau spesi yang. kekurangan elektron atau muatan positif (elektrofil), sehingga disebut reaksi substitusielektrofilik (SE) (Frieda Nurlita dan I Wayan Suja, 2004).       
Nukleofil adalah spesies yang suka inti karena bermuatan negatif atau kaya akan elektron.  Terdapat dua macam nukleofil yakni nukleofil negatif (Nu:-) dan nukleofil netral (Nu:). Nukleofil negatif merupakan nukleofil yang memiliki pasangan elektron tidak berikatan dan bermuatan negatif contohnya adalah ion hidroksida (OH-), ion halida (R-), karbanion, dan lainnya. Nukleofil netral adalah nukleofil yang memiliki pasangan elektron tidak berikatan dan tidak bermuatan contohnya adalah alkohol(Fessenden & Fessenden, 1982).
Reaksi substitusi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu reaksi subtitusi nukleofilik bimolekuler (SN2) dan reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1).  Reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2) merupakan reaksi substitusi nukleofilik dimana laju reaksinya dipengaruhi oleh konsentrasi substrat dan konsentrasi nukleofil sehingga persamaan laju reaksinya dapat ditulis sebagai berikut.
Mekanisme yang terjadi dalam reaksi substitusi bimolekuler adalah reaksi substitusi dimana putusnya ikatan lama dan terbentuknya ikatan baru terjadi secara serempak. Dalam mekanisme ini, gugus Y:- menyerang dari arah berlawanan dari gugus X kemudian mencapai keadaan transisi dimana keadaan ini memiliki tingkat energi yang paling tinggi. Mekanisme reaksi dapat digambarkan sesuai pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Mekanisme Reaksi SN2
Berbeda dengan substitusi nukleofilik bimolekuler, reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1) merupakan reaksi subtitusi nukleofilik dimana laju reaksinya hanya tergantung pada konsentrasi sustrat dan tidak bergantung pada konsentrasi nukleofil sehingga persamaan laju reaksinya dapat ditulis sebagai berikut(Suja & Nurlita, 2003):
Laju reaksi = k [Substrat]
Pada reaksi SN1, reaksi yang terjadi tidak serempak melainkan terjadi secara bertahap. Tahapan yang terjadi dalam reaksi ini adalah pembentukan ion karbonium yang berlangsung secara lambat dimana tahapan ini merupakan penentu laju reaksi kemudian tahapan kedua penyerangan ion karbonium oleh nukleofil yang berlangsung secara cepat. Ion karbonium terbentuk dari pemutusan secara heterolisis terhadap ikatan C-OH dimana pemutusan gugus OH- merupakan gugus pergi yang tidak baik sehingga diperlukan pereaksi H+ untuk melepaskan gugus OH- dalam bentuk H2O. Ion karbonium merupakan hasil intermediet dalam suatu reaksi organik, dan akan menjadi stabil apabila mengikat gugus penyumbang elektron. Ion karbonium dapat menerima pasangan elektron dari nukleofil membentuk ikatan baru.  Mekanisme yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap 1 à Pembentukan ion karbonium
Tahap 2 à Penyerangan ion karbonium
Gambar 2. Mekanisme reaksi SN1
Pada reaksi substitusi nukleofilik, ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi reaksi yakni (1) struktur substrat, (2) sifat nukleofil, (3) sifat pelarut, (4) sifat gugus pergi. Struktur substrat (RX) mempengaruhi reaksi substitusi yang terjadi. RX primer cenderung mengalami reaksi SN2, RX tersier cenderung mengalami reaksi SN1, dan RX sekunder dapat mengalami reaksi SN1 dan SN2. Hal ini disebabkan oleh kerapatan elektron pada atom karbon yang mengikat gugus pergi. Semakin stabil ion karbonium yang dihasilkan maka mekanisme reaksi SN1 semakin dominan. Sifat nukleofil dimana nukleofil kuat seperti alkoksida dan ion hidroksida cenderung mengalami reaksi SN2, sedangkan nukleofil lemah seperti air dan alkohol cenderung mengalami reaksi SN1. Pelarut yang memiliki polaritas besar cenderung akan terjadi reaksi SN1 karena hal ini mempermudah substrat mengalami ionisasi dan menstabilkan ion yang dihasilkannya. Sebaliknya apabila polaritas kecil maka terjadinya ionisasi kecil sehingga dominan terjadi reaksi SN2.

METODE
Percobaan reaksi substitusi nukleofilik  dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Pendidikan Kimia, UNDIKSHA. Peralatan, bahan, dan prosedur kerja yang digunakan adalah sebagai berikut:
Alat
Peralatan yang digunakan dalam percobaan reaksi nukleofilik ini adalah  corong pisah, gelas kimia, labu Erlenmeyer, pipet volumetrik, pipet tetes, corong, cawan porselin, spatula,batang pengaduk, statif, klem, ring, labu dasar bulat, kondensor, termometer, mantel pemanas, dan selang plastik.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan reaksi substitusi nukleofilik ini adalah HCl pekat, t-butil alkohol, larutan natrium bikarbonat, zat anhidrous, es, aquades dan kertas saring.
Prosedur kerja
            Percobaan reaksi substitusi nukleofilik dimulai dengan pendinginan beberapa mL HCl pekat dalam penangas es kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah. Lalu beberapa mL tersier butil alkohol ditambahkan ke dalam corong pisah tetes demi tetes sambil dikocok dengan baik dan sesekali keran corong pisah dibuka untuk mengeluarkan gas HCl yang terbentuk.
            Pengocokan dilanjutkan ± 20 menit lagi setelah tersier butil akohol habis ditambahkan. Selanjutnya campuran dalam corong pisah didiamkan sampai terbentuk dua lapisan terpisah. Kemudian lapisan bagian bawah dipisahkan sebagai HCl. Lapisan bagian atas yang masih tertampung di dalam corong pisah ditambahkan beberapa mL aquades dan diamkan sampai terbentuk dua lapisan terpisah, lalu campuran kembali dipisahkan dengan mengeluarkan lapisan bagian bawah. Selanjutnya lapisan bagian atas ditambahkan lagi dengan beberapa mL larutan natrium bikarbonat yang kemudian setelah didiamkan beberapa waktu akan membentuk dua lapisan terpisah. Lapisan bagian bawah dipisahkan dengan mengeluarkannya dari corong pisah dan lapisan bagian atas juga dikeluarkan dari corong pisah sebagai produk dan ditempatkan pada gelas kimia yang berbeda dengan lapisan bagian bawah.
            Produk yang telah didapatkan berupa tersier butil klorida lalu dikeringkan dengan zat anhidrous (CuSO4). Setelah semua air terserap zat anhidrous lalu dilakukan destilasi. Tapi karena volume produk yang didapatkan sedikit dan tidak memungkinkan untuk didestilasi maka dilakukan pemanasan dalam penangas air untuk menentukan titik didihnya. Pemanasan dilakukan dengan memasukkan produk ke dalam tabung reaksi yang dipanaskan dalam penangas air sambil memperhatikan kenaikan suhu sampai produk tepat mulai mendidih. Produk yang diharapkan dengan hasil akhir suhu dari destilat berkisar 49-52°C sebagai tersier-butil-klorida yang memiliki nD= 1,386. Untuk menguji indeks biasnya dilakukan dengan alat refraktometer.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil tertier butil klorida sebanyak 0,84 mL, sehingga rendemennya dapat dihitung sebagai berikut.
Perbandingan mol tertier butil alkohol dengan mol tertier butil klorida adalah 1:1, jadi secara teoritis mol tertier butil alkohol akan sama dengan mol tertier butil klorida yang dihasilkan.
Mol dari tersier butil alkohol adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan persamaan reaksi:
(CH3)3COH(aq) + HCl(aq) → (CH3)3CCl(aq) + H2O(aq)
maka mol tersier butil alkohol = mol tersier butil klorida = 0,053 mol
Jadi massa tersier butil klorida adalah:
            Volume tersier butil klorida secara teoritis adalah sebagai berikut:
Jadi secara teoritis, volume tertier butil klorida yang dihasilkan dari reaksi substitusi nukleofilik adalah sebanyak 5,83 mL, sedangkan dalam penelitian diperoleh volume tertier butil klorida sebanyak 0,84 mL. Jadi rendemen yang diperoleh adalah sebagai berikut.
% rendemen = 14,41 %
Jadi persentase kesalahan yang dilakukan dalam penelitian adalah sebesar 85,59 %.
Pembahasan
Pada percobaan reaksi substitusi nukleofilik, tahap pertama yang dilakukan adalah pendinginan larutan HCl pekat dalam penangas es yang bertujuan untuk mempertahankan larutan HCl pekat agar tetap berada pada fase cair karena larutan HCl pekat sangat mudah menguap. Menguapnya HCl dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah HCl pekat yang akan digunakan sebagai pelarut dan reaktan (nukleofil), sehingga berdampak pada sedikitnya hasil reaksi yang diperoleh.
            Setelah didinginkan HCl pekat dimasukkan ke dalam corong pisah kemudian ditambahkan t-butil alkohol tetes demi tetes sambil dilakukan pengocokan. Penambahan t-butil alkohol bertujuan untuk mempercepat reaksi karena reaksi SN1 memiliki rintangan sterik yang besar ( atom C yang mengikat –OH merupakan atom C tersier). Struktur tersier diketahui memiliki rintangan sterik yang besar. Setiap sebelum penambahan t-butil alkohol keran dari corong pisah dibuka untuk mengeluarkan gas HCl berlebih yang terbentuk dan menstabilkan tekanan dalam corong pisah.
            Pengocokan dilakukan ± 20 menit lagi setelah tersier butil akohol habis ditambahkan bertujuan untuk mengoptimalkan reaksi yang terjadi. Lalu campuran didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan terpisah seperti diperlihatkan pada gambar 1.

Gambar 1. Terbentuk dua lapisan terpisah setelah dilakukan pengocokan terhadap campuran antara larutan HCl pekat dengan larutan tersier butil alkohol.
            Pemisahan tersebut didasarkan pada perbedaan massa jenis dari HCl dan tersier butil klorida. Massa jenis HCl adalah 1,231 gram/cm3 sedangkan massa jenis tersier butil klorida adalah 0,84 gram/cm3. Oleh karena itu, bagian bawah merupakan HCl karena memiliki massa jenis yang lebih besar dibandingkan dengan tersier butil klorida sedangkan bagian atasnya merupakan larutan tersier butil klorida.
            Mekanisme reaksi SN1dari t-butil alkohol menjadi t-butil klorida dapat dilihat pada gambar 2, dimana reaksi terjadi dalam dua tahapan yakni pembentukan ion karbonium dan penyerangan ion karbonium oleh nukleofil. Pada tahap pembentukan ion karbonium, t-butil alkohol bereaksi dengan H+ akibat adanya pasangan elektron pada O yang menyerang H+. Pembentukan ion karbonium tersier ini diikuti dengan pelepasan molekul air (H2O). Tahap kedua adalah nukleofil (Cl-) menyerang ion karbonium sehingga terbentuk hasil reaksi yakni tersier butil klorida.



ion karbonium
 
nukleofil
 
t-butil alkohol
 
t-butil klorida
 
Gambar 2. Mekanisme Reaksi SN1 darit-butil alkohol menjadi t-butil klorida

   Lapisan atas yang diperoleh belum mengandung tertier butil klorida murni sehingga harus dilakukan pencucian yakni dengan menggunakan air kemudian dilanjutkan dengan larutan NaHCO3. Pencucian dengan air bertujuan untuk mengencerkan HCl karena HCl yang digunakan adalah HCl pekat. Selain itu juga, pencucian dengan air bertujuan untuk melarutkan HCl yang teroklusi (terjebak) dalam molekul tertier butil klorida. Pencucian ini akan menyebabkan terbentuk dua lapisan dimana lapisan atas merupakan lapisan tertier butil klorida dan lapisan bawah merupakan lapisan air yang mengandung HCl. Pencucian selanjutnya menggunakan NaHCO3 yang berperan sebagai basa. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kontaminan HCl yang mungkin tersisa dalam tertier butil klorida. Pencucian ini juga akan menyebabkan terbentuknya dua lapisan, dimana lapisan atas merupakan lapisan tertier butil klorida dan lapisan bawah merupakan larutan NaCl yang merupakan hasil reaksi antara NaHCO3 dengan HCl. NaHCO3 akan bereaksi dengan HCl sesuai dengan persamaan reaksi sebagai berikut.
NaHCO3(aq) + HCl(aq) à NaCl(aq) + H2O(l) + CO2(g)
            Terbentuknya gas CO2 ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung pada larutan t-butil klorida yang dicampur dengan larutan natrium bikarbonat. Setelah penambahan larutan natrium bikarbonat campuran didiamkan sebentar sampai terbentuk dua lapisan kembali kemudian lapisan bagian bawah dipisahkan dengan mengeluarkannya dari corong pisah. Larutan lapisan atas yang merupakan t-butil klorida juga dikeluarkan dari corong pisah dan ditempatkan di gelas kimia berbeda dengan larutan lapisan bawah. Pada gambar 3 dapat dilihat larutan t-butil klorida yang ditambahkan dengan zat anhidrous (CuSO4) yang bertujuan untuk menyerap air yang masih tersisa pada larutan t-butil klorida. Zat anhidrous yang digunakan adalah CuSO4 karena serbuk CuSO4 anhidrous berwarna putih sedangkan ketika mengikat air warnanya akan berubah menjadi biru. Apabila zat anhidrous (CuSO4) ditambahkan sampai serbuk CuSO4 tidak berwarna biru lagi yang menandakan air telah terserap semuanya. Selanjutnya larutan t-butil klorida yang berisi zat anhidrous disaring dengan kertas saring dan didapatkan volume t-butil klorida sebanyak 3mL.
Gambar 3. Larutan t-butil klorida yang dikeringkan dengan zat anhidrous (CuSO4)

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, pada rentang suhu tersebut diperoleh distilat tertier butil klorida sebanyak 0,84 mL sehingga rendemen yang diperoleh setelah dibandingkan dengan volume secara teoretis yakni sebesar 14,41% dimana persentase kesalahan relatifnya sebesar 84,59%. Besarnya persentase kesalahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; (1) pendinginan HCl dan pengocokan HCl dengan tertier butanol belum optimal sehingga tumbukan yang terjadi belum sempurna, (2) proses pemisahan lapisan atas dan bawah pada saat setelah pengocokan, pencucian dengan air, pencucian dengan NaHCO3 belum teliti sehingga diperkirakan beberapa tertier butil klorida ikut keluar, (3) Pada proses distilasi diperkirakan beberapa butil klorida teruapkan akibat pendinginan yang belum optimal karena titik didihnya relatif kecil yakni 49oC. . Berdasarkan hal inilah, dapat dikatakan bahwa produk yang terbentuk antara reaksi tertier butil alkohol dengan HCl adalah tertier butil klorida.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa reaksi substitusi nukleofilik yang dilakukan adalah reaksi nukleofilik unimolekular (SN1) yang menggunakan HCl pekat sebagai pelarut sekaligus nukleofil atau reagen dari reaksi tersebut. Hasil yang diperoleh berupa larutan t-butil klorida sebanyak 0,84 mL. Kemudian titik didih dari larutan t-butil klorida hasil percobaan didapatkan 49°C sudah sesuai dengan teori yaitu berkisar 49-52°C.

DAFTAR PUSTAKA
Fessenden, R., & Fessenden, J. 1982. Kimia Organik Jilid I. Jakarta: Erlangga
Frieda Nurlita & I Wayan Suja.2004. Buku Ajar Praktikum Kimia Organik. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja
I Wayan Muderawan & I Wayan Suja. 2006. Praktikum Kimia Organik. Singaraja: Universitas Pendidikan Singaraja

I Wayan Suja & Frieda Nurlita. 2003. Buku Ajar Kimia Organik Lanjut. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja

0 komentar:

Posting Komentar