SINTESIS TERTIER BUTIL KLORIDA MELALUI
REAKSI SUBSTITUSI NUKLEOFILIK
I Putu Pandu Setiawan
Jurusan Pendidikan Kimia
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: pandupendog45@gmail.com
Abstrak
Percobaan ini bertujuan untuk
melakukan reaksi substitusi nukleofilik unimolekular (SN1) dan
mengidentifikasi hasil reaksinya dengan menggunakan tersier butil alkohol
sebagai substrat dan HCl pekat sebagai pelarut sekaligus sebagai
nukleofil/reagennya. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah analisis kuantitatif. Hasil dari percobaan ini adalah
0,84 mL larutan tersier butil klorida dengan persentase rendemennya sebesar 14,41% dan
persentase kesalahan sebesar 85,59 %
serta titik didih t-butil klorida yang diamati sebesar 490C
sesuai titik didih dengan teori yaitu sebesar 49-520C . Hal ini menunjukkan bahwa produk memang benar t-butil
klorida.
Kata kunci: substitusi nukleofilik, tertier butil alkohol,
tertier butil klorida
Abstract
This
experiment aims to do unimolekular nucleophilic substitution reactions (SN1)
and identifies the results of the reaction using tertiary butyl alcohol as a
substrate and concentrated HCl as solvent as well as the nucleophile /
reagennya. The method used in this experiment is a quantitative analysis.
Results of this experiment was 0.84 mL of tertiary butyl chloride with the
yield percentage of 14.41% and the percentage error of 85.59% and a boiling
point of t-butyl chloride was observed at 490C in accordance with the theory
that the boiling point of 49-520C , This indicates that the product is indeed
true t-butyl chloride.
Keywords: nucleophilic
substitution, tertiary butyl alcohol, tertiary butyl chloride
PENDAHULUAN
Reaksi substitusi adalah
reaksi pertukaran atau penggantian gugus atom yang terdapat pasa senyawa karbon
yang diganti atau ditukar dengan gugus atom lain. Reaksi substitusi nukleofilik
terdiri dari 3 jenis reaksi yaitu reaksi substitusi nukleofilik unimolekular (SN1),
reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2), dan reaksi
substitusi nukleofilik internal (SNi) (Putu Rahmadewa, 2013). Reaksi
substitusi dapat terjadi pada substrat karbon yang bermuatan positif (ion
karbonium) dengan spesi yang menyenangi muatan positif atau spesi yang
kelebihan elektron/muatan negatif (nukleofil), sehingga disebut reaksi
substitusi nukleofilik (SN). Selain itu, reaksi substitusi dapat
pula terjadi pada substrat karbon yang bermuatan negatif (sumber elektron)
dengan spesi yang menyenangi muatan negatif atau spesi yang. kekurangan
elektron atau muatan positif (elektrofil), sehingga disebut reaksi
substitusielektrofilik (SE) (Frieda Nurlita dan I Wayan Suja, 2004).
Nukleofil adalah
spesies yang suka inti karena bermuatan negatif atau kaya akan elektron. Terdapat dua macam nukleofil yakni nukleofil
negatif (Nu:-) dan nukleofil netral (Nu:). Nukleofil negatif
merupakan nukleofil yang memiliki pasangan elektron tidak berikatan dan
bermuatan negatif contohnya adalah ion hidroksida (OH-), ion halida
(R-), karbanion, dan lainnya. Nukleofil netral adalah nukleofil yang
memiliki pasangan elektron tidak berikatan dan tidak bermuatan contohnya adalah
alkohol(Fessenden & Fessenden, 1982).
Reaksi substitusi
dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu reaksi subtitusi nukleofilik
bimolekuler (SN2) dan reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1). Reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2)
merupakan reaksi substitusi nukleofilik dimana laju reaksinya dipengaruhi oleh
konsentrasi substrat dan konsentrasi nukleofil sehingga persamaan laju
reaksinya dapat ditulis sebagai berikut.
Mekanisme yang
terjadi dalam reaksi substitusi bimolekuler adalah reaksi substitusi dimana
putusnya ikatan lama dan terbentuknya ikatan baru terjadi secara serempak.
Dalam mekanisme ini, gugus Y:- menyerang dari arah berlawanan dari
gugus X kemudian mencapai keadaan transisi dimana keadaan ini memiliki tingkat
energi yang paling tinggi. Mekanisme reaksi dapat digambarkan sesuai pada
gambar di bawah ini.
Gambar
1. Mekanisme Reaksi SN2
Berbeda dengan
substitusi nukleofilik bimolekuler, reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler
(SN1) merupakan reaksi subtitusi nukleofilik dimana laju reaksinya
hanya tergantung pada konsentrasi sustrat dan tidak bergantung pada konsentrasi
nukleofil sehingga persamaan laju reaksinya dapat ditulis sebagai berikut(Suja
& Nurlita, 2003):
Laju reaksi = k
[Substrat]
Pada reaksi SN1,
reaksi yang terjadi tidak serempak melainkan terjadi secara bertahap. Tahapan
yang terjadi dalam reaksi ini adalah pembentukan ion karbonium yang berlangsung
secara lambat dimana tahapan ini merupakan penentu laju reaksi kemudian tahapan
kedua penyerangan ion karbonium oleh nukleofil yang berlangsung secara cepat.
Ion karbonium terbentuk dari pemutusan secara heterolisis terhadap ikatan C-OH
dimana pemutusan gugus OH- merupakan gugus pergi yang tidak baik
sehingga diperlukan pereaksi H+ untuk melepaskan gugus OH-
dalam bentuk H2O. Ion karbonium merupakan hasil intermediet dalam
suatu reaksi organik, dan akan menjadi stabil apabila mengikat gugus penyumbang
elektron. Ion karbonium dapat menerima pasangan elektron dari nukleofil
membentuk ikatan baru. Mekanisme yang
dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap 1 à Pembentukan ion karbonium
Tahap 2 à Penyerangan ion karbonium
Gambar 2. Mekanisme reaksi SN1
Pada reaksi substitusi nukleofilik,
ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi reaksi yakni (1) struktur
substrat, (2) sifat nukleofil, (3) sifat pelarut, (4) sifat gugus pergi.
Struktur substrat (RX) mempengaruhi reaksi substitusi yang terjadi. RX primer
cenderung mengalami reaksi SN2, RX tersier cenderung mengalami
reaksi SN1, dan RX sekunder dapat mengalami reaksi SN1
dan SN2. Hal ini disebabkan oleh kerapatan elektron pada atom karbon
yang mengikat gugus pergi. Semakin stabil ion karbonium yang dihasilkan maka
mekanisme reaksi SN1 semakin dominan. Sifat nukleofil dimana
nukleofil kuat seperti alkoksida dan ion hidroksida cenderung mengalami reaksi
SN2, sedangkan nukleofil lemah seperti air dan alkohol cenderung
mengalami reaksi SN1. Pelarut yang memiliki polaritas besar
cenderung akan terjadi reaksi SN1 karena hal ini mempermudah
substrat mengalami ionisasi dan menstabilkan ion yang dihasilkannya. Sebaliknya
apabila polaritas kecil maka terjadinya ionisasi kecil sehingga dominan terjadi
reaksi SN2.
METODE
Percobaan reaksi substitusi nukleofilik
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Pendidikan Kimia,
UNDIKSHA. Peralatan, bahan, dan prosedur kerja yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Alat
Peralatan yang digunakan dalam percobaan reaksi nukleofilik ini adalah corong pisah, gelas kimia, labu Erlenmeyer,
pipet volumetrik, pipet tetes, corong, cawan porselin, spatula,batang pengaduk,
statif, klem, ring, labu dasar bulat, kondensor, termometer, mantel pemanas,
dan selang plastik.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan reaksi substitusi nukleofilik ini adalah
HCl pekat, t-butil alkohol, larutan natrium bikarbonat, zat anhidrous, es,
aquades dan kertas saring.
Prosedur kerja
Percobaan reaksi substitusi
nukleofilik dimulai dengan pendinginan beberapa mL HCl pekat dalam penangas es
kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah. Lalu beberapa mL tersier butil
alkohol ditambahkan ke dalam corong pisah tetes demi tetes sambil dikocok
dengan baik dan sesekali keran corong pisah dibuka untuk mengeluarkan gas HCl
yang terbentuk.
Pengocokan dilanjutkan ± 20 menit lagi
setelah tersier butil akohol habis ditambahkan. Selanjutnya campuran dalam
corong pisah didiamkan sampai terbentuk dua lapisan terpisah. Kemudian lapisan
bagian bawah dipisahkan sebagai HCl. Lapisan bagian atas yang masih tertampung
di dalam corong pisah ditambahkan beberapa mL aquades dan diamkan sampai terbentuk
dua lapisan terpisah, lalu campuran kembali dipisahkan dengan mengeluarkan
lapisan bagian bawah. Selanjutnya lapisan bagian atas ditambahkan lagi dengan beberapa
mL larutan natrium bikarbonat yang kemudian setelah didiamkan beberapa waktu
akan membentuk dua lapisan terpisah. Lapisan bagian bawah dipisahkan dengan
mengeluarkannya dari corong pisah dan lapisan bagian atas juga dikeluarkan dari
corong pisah sebagai produk dan ditempatkan pada gelas kimia yang berbeda
dengan lapisan bagian bawah.
Produk yang telah didapatkan berupa
tersier butil klorida lalu dikeringkan dengan zat anhidrous (CuSO4).
Setelah semua air terserap zat anhidrous lalu dilakukan destilasi. Tapi karena
volume produk yang didapatkan sedikit dan tidak memungkinkan untuk didestilasi
maka dilakukan pemanasan dalam penangas air untuk menentukan titik didihnya.
Pemanasan dilakukan dengan memasukkan produk ke dalam tabung reaksi yang
dipanaskan dalam penangas air sambil memperhatikan kenaikan suhu sampai produk
tepat mulai mendidih. Produk yang diharapkan dengan hasil akhir suhu dari
destilat berkisar 49-52°C sebagai tersier-butil-klorida yang memiliki nD=
1,386. Untuk menguji indeks biasnya dilakukan dengan alat refraktometer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil tertier butil klorida sebanyak 0,84
mL, sehingga rendemennya dapat dihitung sebagai berikut.
Perbandingan mol tertier butil alkohol
dengan mol tertier butil klorida adalah 1:1, jadi secara teoritis mol tertier
butil alkohol akan sama dengan mol tertier butil klorida yang dihasilkan.
Mol dari tersier butil alkohol adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan persamaan reaksi:
(CH3)3COH(aq) + HCl(aq)
→ (CH3)3CCl(aq) + H2O(aq)
maka mol tersier butil alkohol = mol tersier butil klorida
= 0,053 mol
Jadi massa tersier butil klorida adalah:
Volume
tersier butil klorida secara teoritis adalah sebagai berikut:
Jadi secara teoritis, volume
tertier butil klorida yang dihasilkan dari reaksi substitusi nukleofilik adalah
sebanyak 5,83 mL, sedangkan dalam penelitian diperoleh volume tertier butil
klorida sebanyak 0,84 mL. Jadi rendemen yang diperoleh adalah sebagai berikut.
% rendemen = 14,41 %
Jadi
persentase kesalahan yang dilakukan dalam penelitian adalah sebesar 85,59 %.
Pembahasan
Pada
percobaan reaksi substitusi nukleofilik, tahap pertama yang dilakukan adalah
pendinginan larutan HCl pekat dalam penangas es yang bertujuan untuk
mempertahankan larutan HCl pekat agar tetap berada pada fase cair karena
larutan HCl pekat sangat mudah menguap. Menguapnya HCl dapat mengakibatkan
berkurangnya jumlah HCl pekat yang akan digunakan sebagai pelarut dan reaktan
(nukleofil), sehingga berdampak pada sedikitnya hasil reaksi yang diperoleh.
Setelah
didinginkan HCl pekat dimasukkan ke dalam corong pisah kemudian ditambahkan
t-butil alkohol tetes demi tetes sambil dilakukan pengocokan. Penambahan
t-butil alkohol bertujuan untuk mempercepat reaksi karena reaksi SN1
memiliki rintangan sterik yang besar ( atom C yang mengikat –OH merupakan atom
C tersier). Struktur tersier diketahui memiliki rintangan sterik yang besar.
Setiap sebelum penambahan t-butil alkohol keran dari corong pisah dibuka untuk
mengeluarkan gas HCl berlebih yang terbentuk dan menstabilkan tekanan dalam
corong pisah.
Pengocokan
dilakukan ± 20 menit lagi setelah tersier butil akohol habis ditambahkan
bertujuan untuk mengoptimalkan reaksi yang terjadi. Lalu campuran didiamkan
sampai terbentuk 2 lapisan terpisah seperti diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1.
Terbentuk dua lapisan terpisah setelah dilakukan pengocokan terhadap campuran
antara larutan HCl pekat dengan larutan tersier butil alkohol.
Pemisahan
tersebut didasarkan pada perbedaan massa jenis dari HCl dan tersier butil
klorida. Massa jenis HCl adalah 1,231 gram/cm3 sedangkan massa jenis
tersier butil klorida adalah 0,84 gram/cm3. Oleh karena itu, bagian
bawah merupakan HCl karena memiliki massa jenis yang lebih besar dibandingkan
dengan tersier butil klorida sedangkan bagian atasnya merupakan larutan tersier
butil klorida.
Mekanisme
reaksi SN1dari t-butil alkohol menjadi t-butil klorida dapat dilihat
pada gambar 2, dimana reaksi terjadi dalam dua
tahapan yakni pembentukan ion karbonium dan penyerangan ion karbonium oleh
nukleofil. Pada tahap pembentukan ion karbonium, t-butil alkohol bereaksi
dengan H+ akibat adanya pasangan elektron pada O yang menyerang H+.
Pembentukan ion karbonium tersier ini diikuti dengan pelepasan molekul air (H2O).
Tahap kedua adalah nukleofil (Cl-) menyerang ion karbonium sehingga
terbentuk hasil reaksi yakni tersier butil klorida.
|
|
|
|
Gambar 2. Mekanisme Reaksi SN1
darit-butil alkohol menjadi t-butil klorida
Lapisan atas yang diperoleh belum mengandung tertier
butil klorida murni sehingga harus dilakukan pencucian yakni dengan menggunakan
air kemudian dilanjutkan dengan larutan NaHCO3. Pencucian dengan air
bertujuan untuk mengencerkan HCl karena HCl yang digunakan adalah HCl pekat.
Selain itu juga, pencucian dengan air bertujuan untuk melarutkan HCl yang
teroklusi (terjebak) dalam molekul tertier butil klorida. Pencucian ini akan
menyebabkan terbentuk dua lapisan dimana lapisan atas merupakan lapisan tertier
butil klorida dan lapisan bawah merupakan lapisan air yang mengandung HCl.
Pencucian selanjutnya menggunakan NaHCO3 yang berperan sebagai basa.
Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kontaminan HCl yang mungkin tersisa
dalam tertier butil klorida. Pencucian ini juga akan menyebabkan terbentuknya
dua lapisan, dimana lapisan atas merupakan lapisan tertier butil klorida dan
lapisan bawah merupakan larutan NaCl yang merupakan hasil reaksi antara NaHCO3
dengan HCl. NaHCO3 akan bereaksi dengan HCl sesuai dengan persamaan
reaksi sebagai berikut.
NaHCO3(aq)
+ HCl(aq) à NaCl(aq) + H2O(l)
+ CO2(g)
Terbentuknya gas CO2 ditandai
dengan terbentuknya gelembung-gelembung pada larutan t-butil klorida yang
dicampur dengan larutan natrium bikarbonat. Setelah penambahan larutan natrium
bikarbonat campuran didiamkan sebentar sampai terbentuk dua lapisan kembali
kemudian lapisan bagian bawah dipisahkan dengan mengeluarkannya dari corong
pisah. Larutan lapisan atas yang merupakan t-butil klorida juga dikeluarkan
dari corong pisah dan ditempatkan di gelas kimia berbeda dengan larutan lapisan
bawah. Pada gambar 3 dapat dilihat larutan t-butil klorida yang ditambahkan
dengan zat anhidrous (CuSO4) yang bertujuan untuk menyerap air yang
masih tersisa pada larutan t-butil klorida. Zat anhidrous yang digunakan adalah
CuSO4 karena serbuk CuSO4 anhidrous berwarna putih
sedangkan ketika mengikat air warnanya akan berubah menjadi biru. Apabila zat
anhidrous (CuSO4) ditambahkan sampai serbuk CuSO4 tidak
berwarna biru lagi yang menandakan air telah terserap semuanya. Selanjutnya
larutan t-butil klorida yang berisi zat anhidrous disaring dengan kertas saring
dan didapatkan volume t-butil klorida sebanyak 3mL.
Gambar 3. Larutan t-butil klorida yang dikeringkan dengan zat anhidrous
(CuSO4)
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, pada rentang suhu
tersebut diperoleh distilat tertier butil klorida sebanyak 0,84 mL sehingga
rendemen yang diperoleh setelah dibandingkan dengan volume secara teoretis
yakni sebesar 14,41% dimana persentase kesalahan relatifnya sebesar 84,59%.
Besarnya persentase kesalahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain ; (1) pendinginan HCl dan pengocokan HCl dengan tertier butanol
belum optimal sehingga tumbukan yang terjadi belum sempurna, (2) proses
pemisahan lapisan atas dan bawah pada saat setelah pengocokan, pencucian dengan
air, pencucian dengan NaHCO3 belum teliti sehingga diperkirakan
beberapa tertier butil klorida ikut keluar, (3) Pada proses distilasi diperkirakan
beberapa butil klorida teruapkan akibat pendinginan yang belum optimal karena
titik didihnya relatif kecil yakni 49oC. . Berdasarkan
hal inilah, dapat dikatakan bahwa produk yang terbentuk antara reaksi tertier
butil alkohol dengan HCl adalah tertier butil klorida.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang
telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa reaksi substitusi nukleofilik yang
dilakukan adalah reaksi nukleofilik unimolekular (SN1) yang
menggunakan HCl pekat sebagai pelarut sekaligus nukleofil atau reagen dari
reaksi tersebut. Hasil yang diperoleh berupa larutan t-butil klorida sebanyak
0,84 mL. Kemudian titik didih dari larutan t-butil klorida hasil percobaan
didapatkan 49°C sudah sesuai dengan teori yaitu berkisar 49-52°C.
DAFTAR PUSTAKA
Fessenden, R., &
Fessenden, J. 1982. Kimia Organik Jilid I.
Jakarta: Erlangga
Frieda Nurlita &
I Wayan Suja.2004. Buku Ajar Praktikum
Kimia Organik. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja
I Wayan Muderawan
& I Wayan Suja. 2006. Praktikum Kimia
Organik. Singaraja: Universitas Pendidikan Singaraja
I Wayan Suja &
Frieda Nurlita. 2003. Buku Ajar Kimia Organik Lanjut. Singaraja: IKIP Negeri
Singaraja
0 komentar:
Posting Komentar